Category Archives: Kultur Jaringan

Bioteknologi Tanaman Genus Curcuma (1)

Tanaman genus Curcuma menjadi sangat penting bagi perkembangan dunia pengobatan secara global karena memiliki potensi penghambatan terhadap berbagai macam gejala penyakit seperti anti peradangan, hypoclorestaemik, kolera, anti biotik, anti diabetes, anti kanker, anti virus, dan anti rheumatik. Tanaman genus Curcuma telah digunakan sebagai bahan obat  untuk mengatasi penyakit Alzheimer’s serta penggunaan lain sebagai anti serangga, aroma terapi, dan industri parfum.

Beberapa spesies dari tanaman Curcuma juga telah digunakan sebagai bahan baku pada industri karbohidrat, dan bunga potong. Beberapa nilai ekonomi genus curcuma diterangkan pada tabel 1.

Slide7
Sumber : Parthasarathy et al. 2006

Bioteknologi sebagai salah satu ilmu terapan telah lama digunakan pada beberapa penelitian tanaman genus Curcuma sejak 3-4 dekade yang lalu. Curcuma longa L. atau dikenal dengan kunyit merupakan tanaman temu-temuan yang digunakan sebagai bahan baku berbagai jenis masakan. Tanaman kunyit telah menjadi fokus beberapa peneliti khususnya dalam bidang bioteknologi. Ada beberapa kegiatan yang berhubungan dengan bioteknologi yang telah dilakukan dan mencakup dalam tiga kegiatan besar diantaranya : kultur jaringan, marka molekuler, dan transformasi genetik. Marka molekuler dan transformasi genetik akan disampaikan pada tulisan selanjutnya, Bioteknologi Tanaman Genus Curcuma (2)

Kultur Jaringan

Penelitian kultur jaringan telah banyak dilakukan hingga menghasilkan beberapa protokol untuk propagasi tanaman genus Curcuma secara in vitro, kultur suspensi sel sebagai penapisan varietas dengan sifat unggulan dan digunakan pula untuk konservasi tanaman.

Pengaruh eksplan dan media. Diantara berbagai macam eksplan yang telah dicoba, tunas rimpang merupakan material yang paling banyak digunakan pada propagasi tanaman  genus Curcuma. Media MS (Murashige and Skoog) secara luas telah dikembangkan dengan penambahan zat pengatur tumbuh tanaman benzil adenin (BA) atau benzil amino purin (BAP) untuk memberikan pengaruh terhadap proliferasi tunas pada propagasi klonal secara in vitro. Hasil penelitian menunjukan respon yang beragam terhadap pengaruh BAP, artinya setiap spesies memiliki respon yang berbeda-beda. Selain penggunaan sitokinin secara tunggal, kombinasi sitokinin dengan auksin seperti NAA, kinetin, IBA, 2,4D, TDZ dan IAA pada media solid maupun cair memberikan pengaruh terhadap berkurangnya jumlah kalus, multiplikasi tunas dari tunas rimpang, dan pembungaan pada beberapa tanaman genus Curcuma. Hasil penelitian pada Curcuma zedoaria menunjukan terbentuknya kalus dari hypertropheid cortical sel parenkim pada eksplan akar. Penggunaan sukrosa telah digunakan sebagai sumber karbon terbaik bagi eksplan tanaman genus Curcuma.

This slideshow requires JavaScript.

Induksi Mutasi in Vitro. Mutasi adalah perubahan yang terjadi pada bahan genetik (DNA maupun RNA), baik pada taraf urutan gen (disebut mutasi titik) maupun pada taraf kromosom. Meskipun secara biologi sebagian terbesar mutasi menyebabkan gangguan pada kebugaran (fitness) individu, bahkan kematian, mutasi sebenarnya adalah salah satu kunci bagi kemampuan beradaptasi suatu jenis (spesies) terhadap lingkungan baru atau yang berubah. Sisi positif ini dimanfaatkan oleh sejumlah bidang biologi terapan. Induksi mutasi tanaman kunyit telah dilakukan pada beberapa varietas “Suvarna” dan “Prabha” dengan menggunakan bahan kimia EMS (ethil methane sulfonat), dan secara fisik menggunakan iradiasi sinar gamma yang menghasilkan cytotypes dengan mengubah sejumlah kromosom.

Produksi Microrhizome secara In Vitro. Microrhizome memiliki keunggulan dibandingkan dengan rimpang pada umumnya, karena memiliki keuntungan dalam hal pengemasan dan transportasi, disamping konservasi plasma nutfah. Induksi microrhizome telah dilakukan dan memperoleh hasil yang menggembirakan. Dengan penggunaan media MS dan zat pengatur tumbuh BAP, NAA dan ancymidol dengan penambahan hingga 10% sukrosa telah bisa dihasilkan microrhizome pada minggu ke 8, dan cukup baik saat diaklimatisasi ke lapangan. Secara teknis induksi microrhizome dilakukan dengan menghambat kinerja BAP dan meningkatkan konsentrasi glukosa maka akan menghasilkan microrhizome yang lebih baik. Percobaan dilakukan pada media cair dengan penambahan BA dan mengurangi fotoperiodisitas yang diamati selama 30 hari.

This slideshow requires JavaScript.

Pemanfaatan teknologi kultur in vitro pada isolasi senyawa antioksidan

Antioksidan dan teknologi kultur in vitro

Penggunaan sel tanaman dan teknik kultur jaringan telah banyak dimanfaatkan untuk memproduksi metabolit sekunder, baik dalam skala kecil (penelitian) maupun industri dengan kapasitas yang cukup besar terutama penggunaan bioreaktor. Penelitian-penelitian yang telah banyak dilakukan meliputi penggunaan sel tanaman yang bermanfaat menghasilkan produk kimia bermanfaat dan bagaimana mengontrol metabolisme dari sel tersebut sehingga memperoleh senyawa metabolit sekunder target. Kultur sel tanaman dilakukan melalui perbanyakan kalus, sehingga diharapkan mampu mensintesis, terutama mengakumulasikan beberapa jenis metabolit sekunder khususnya senyawa yang berkhasiat obat seperti senyawa alkaloid saponin, kardenolid, antraquinon, polifenol, dan terpen.

Selama beberapa dekade penelitian yang berkaitan dengan produk alami kimia tumbuh dengan pesat. Kasus-kasus penyakit degeneratif maupun antiaging yang disebabkan aktifitas radikal bebas terutama oleh stress dan polutan mendorong berbagai penelitian mengenai penggunaan senyawa antioksidan.

Apa antioksidan ?

Antioksidan adalah senyawa yang mampu mencegah atau menunda reaksi oksidasi pada substrat dalam konsentrasi yang lebih rendah bila dibandingkan dengan substrat yang teroksidasi tersebut. Reaksi perombakan dari oksigen reaktif/ reactive oxygen species (ROS) adalah mekanisme yang memungkinkankita memahami reaksi antioksidan. Melalui reaksi pengikatan logam atau penghambatan dengan bantuan enzim mampu mencegah bertambahnya reaksi radikal bebas. Sebenarnya secara seluler di dalam sel terdapat antioksidan endogen, yaitu antioksidan yang diproduksi sendiri oleh sel seperti asam askorbat, asam ureat, glutation, tokoperol, dan lain-lain. Aktivitas antioksidan pada produk metabolit sekunder secara luas telah dikenal melalui teknik in vitro dan beberapa telah diketahui mekanisme reaksinya.

Mengapa harus in vitro?

Sember bahan alam yang telah digunakan sebagai bahan baku antioksidan telah banyak digunakan seperti produk pertanian dan hortikultura (jagung, wortel, tomat apel daun teh damlain-lain) atau tanaman obat seperti pinus, curcuma, suren dan lain-lain Bahkan industri dari minuman keras di beberapa negara di eropa dan minyak zaitun telah menggunakan produk buangan (waste product) sebagai bahan baku industri senyawa antioksidan.

Lalu mengapa harus dengan in vitro? Saat ini ilmu dan teknik biotechnology berkembang dengan pesat khususnya dalam memproduksi metabolit sekunder agar lebih ekonomis dan mampu mengatasi permasalahan dalam budidaya konvensional. Bila dibandingkan dengan teknik pertanian konvensional, bioteknologi memang memiliki beberapa keunggulan yaitu ekstraksi dan pemurnian yang lebih mudah, beberapa senyawa tidak ditemukan di alam, tidak bergantung pada faktor cuaca dan iklim, lebih mudah mengontrol proses biosintesisnya, dan yang terakhir ekplorasi melalui rekayasa genetika lebih memungkinkan dilakukan bila dibandingkan dengan apabila kita mengintroduksi GMO ke lingkungan.

Metode apa yang digunakan ?

Dari beberapa penelitian kultur jaringan, pada isolasi metabolit sekunder, aktivitas antioksidan jarang sekali diperhatikan oleh peneliti. Pengetahuan tentang sifat antioksidan sebuah senyawa seringkali datang dari penelitian yang bertemakan etnobotani tanaman obat terutama dalam hal konservasi. Pengujian senyawa antioksidan bergantung pada bentuk senyawaan yang kita teliti. Metode sederhana dilakukan dengan uji warna menggunakan colorimetry yang mendeteksi perubahan pengurangan logam, uji dengan radikal bebas sintesis (2,2 &prime-azinobis-(3-3thilbenzothiazolene-6-sulfonate) dan DPHH (1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl free radical).

Di bawah ini beberapa spesies yang digunakan, senyawa yang dihasilkan, dan sistem kultur yang digunakan dalam beberapa penelitian kultur in vitro:

Spesies Metabolit sekunder Sistem kultur
Ajuga reptans Antosianin Kultur sel bunga
Anchusa officinalis Asam Rosmarinat Suspensi sel
Arachis hypogea Piceatannol (stilbene) Kalus
Carthamus rinctorius Kinobeon A Suspensi sel
Sausurea involucrata Apigenin Hairy root over expression culrure
Stevia rebaudiana Baicalin, wogonoside Suspensi sel
Vitis vinifera Procyanidins Suspensi sel
Withania somnifera Withanoloid Kalus, bioreaktor

Seminar Sehari Biofarmaka

Dalam rangka dies natalis yang ke-16 Pusat Studi Biofarmaka (PSB) IPB melaksanakan Seminar Sehari Biofarmaka dengan tema “Standarisasi Hulu Hilir Jamu Produk Biofarmaka”. Kegiatan yang dilaksanakan atas kerjasama dengan Kementerian Koordinator Perekonomian RI ini berlangsung pada tanggal 25 September 2014 di Hotel Salak Heritage Bogor pukul 09.00 s.d 16.00 WIB. Turut hadir dalam acara tersebut Prof. Dr. Latifah K. Darusman MS (Kepala Pusat Studi Biofarmaka), Dr. Ir. Prastowo M.Eng (Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat/LPPM) dan Prof. Dr. Dudung Darusman (Dewan Penasehat PSB).

Acara ini dibagi ke dalam dua sesi seminar. Seminar sesi pertama dimoderatori oleh Dr. Irmanida Batubara M.Si dengan pembicara Ir. Siswoyo M.Si (konsep eksplorasi, konservasi sumberdaya biofarmaka), Prof. Dr. Sandra Aziz, MS ( Budidaya bahan baku biofarmaka terstandar), dan Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri M.Si (Aspek Sosial Ekonomi dalam pemanfaatan Biofarmaka).

IMG_2430
Pemateri Sesi 1 Dr. Irmanida Batubara M.Si (paling kanan), Ir. Siswoyo M.Si, Prof. Dr. Sandra Aziz, MS, dan Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri M.Si.

Dalam ulasannya Ir. Siswoyo M.Si memaparkan potensi Indonesia sebagai salah satu negara dengan biodiversitas yang sangat tinggi memiliki ± 29.375 jenis tumbuhan dan 2.039 merupakan jenis tumbuhan obat. Disamping itu menurut data dari BKKBN pada tahun 2013 penduduk Indonesia mencapai ± 250 juta yang tersebar dalam ±1.128 etnik yang masing-masing mewarisi ramuan tradisional pengobatan dengan menggunakan tumbuhan obat. Namun keunggulan Indonesia dibenturkan dengan faktor-faktor yang mengancam kelestarian tumbuhan obat yaitu kebijakan pemerintah yang kurang mendukung, kerusakan habitat hutan, konversi lahan hutan, kurangnya perhatian terhadap pengelolaan dan budidaya serta hilangnya budaya dan pengetahuan tradisional masyarakat karena pengaruh globalisasi. Solusi yang cukup menarik ditawarkan oleh beliau adalah percepatan kedaulatan pangan dan obat masyarakat Indonesia melalui pengembangan kampung konservasi biodiversitas tropika.

Presentation2
Pembicara 1 Ir. Siswoyo M.Si menjelakan konsep eksplorasi, konservasi sumberdaya biofarmaka), inzet : pembicara lainnya.

Pendekatan budidaya bahan baku terstandar disampaikan oleh Prof Dr. Ir Sandra Azis MS yang memberikan wawasan kepada peserta akan pentingnya faktor budidaya terhadap ketersediaan bahan bioaktif dalam biomass tanaman. Teknik budidaya yang disampaikan beliau meliputi perakitan varietas dan klon unggul, pemupukan yang disesuaikan dengan bahan bioaktif yang dihasilkan, jarak tanam, pemberian naungan atau cahaya, sistem irigasi, penanaman pada musim, ketinggian yang bermeda, sistem pemangkasan dan kultur jaringan tanaman. Disampaikan pula hasil penelitian beliau pada tanaman jambu biji dengan ecotype red guava Pejimatan, white guava Solo dan white guava Inogiri.

Potret posisi dan daya saing produk herbal Indonesia dalam globalisasi dijabarkan dengan sangat rinci oleh Dr. Ir. Eka Intan K.P M.Si. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan dunia ditandai dengan diterapkannya FTA, AFTA, CAFTA dan AEC tahun 2015, dan hal itu akan berpengaruh terhadap permasalahan jamu nasional. Tantangan yang harus kita hadapi adalah membanjirnya produk impor di dalam negeri yang mengakibatkan defisit neraca perdagangan Indonesia sementara itu produk pertanian khususnya tanaman obat mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Kendala yang kita hadapi dalam perdagangan internasional produk jamu diantaranya adalah semakin sulitnya herbal nasional dipasarkan di dalam maupun di luar negeri, pangsa pasar yang semakin menurun, perputaran normal dan terbatas, teknologi yang digunakan masih sederhana dan kualitas sumber daya manusia terbatas. Ditutup dengan penjelasan tentang analisis daya saing Indonesia-dunia, analisis daya saing Indonesia-cina dan analisis daya saing ekspor produk herbal Indonesia membuka wawasan kita bagaimana kesiapan bangsa Indonesia menghadapi globalisasi perdagangan.

Acara dilanjutkan dengan Sesi Presentasi Poster Paperless yang dimoderatori oleh Rudi Heryanto S.Si, M.Si dan Drs Edy Djauhari Purwakusumah, masing-masing peserta memaparkan hasil peneitian yang dibagi ke dalam beberapa kelompok peneliti diantaranya kelompok konservasi, budidaya, invitro, teknik/standarisasi produk dan hewan model.

Presentation3
Sesi Presentasi Poster dilaksanakan saat peserta makan siang, sehingga diskusi berjalan dengan santai tanpa mengurangi makna kegiatan

Pada sesi ke dua yang dimoderatori oleh Prof. Dr. Dra. Ietje Wientarsih, Apt, MSc. Diisi oleh dua pembicara yaitu Dr. Mohamad Rafi (Standarisasi kimia bahan baku dan produk biofarmaka) dan Prof. Drh. Dondin Sajuthi, MST, Ph.D (Hewan model sebagai alat uji aktivitas produk biofarmaka).

Tercemarnya 59 produk obat tradisional dengan bahan kimia sintesis seperti parasetamol dan fenilbutason disampaikan melalui Siaran Pers Badan Pengawasan Obat dan makanan menjadi latar belakang perlunya standarisasi kimia bahan baku dan produk biofarmaka. Dr. Mohamad Rafi menyampaikan bahwa standarisasi bertujuan untuk keajegan kualitas bahan baku sehingga mengakibatkan keajegan khasiat obat herbal. Beliau memperkenalkan identifikasi, diskriminasi dan autentifikasi pada sampel produk herbal dengan teknik kemometri yaitu melalui analisis senyawa penanda dan analisis senyawa penanda.

Materi terakhir disampaikan oleh Prof. Drh. Dondin Sajuthi, MST, Ph.D tentang peran hewan model dalam penelitian dan pengembangan produk biofarmaka. Beliau menyampaikan tujuan menggunakan hewan model, gambaran dosis yang digunakan yang efektif secara farmakologis. Penyampaian yang santai dan penuh humor khususnya saat penjelasan animal behavior membuat suasana seminar menjadi lebih hidup. Peserta yang sebelumnya terkantuk-kantung menjadi segar dan mampu mengikuti kembali materi presentasi yang disampaikan. Beliau menyampaikan bahwa dalam memilih hewan model yang baik adalah mudah diakses oleh peneliti, mudah dalam transportasi, mudah diproduksi, tersedia lebih dari satu spesies, keseragaman genetik, dan memahami anatomis, biologis serta mikrofloranya.

Presentation1
Materi terakhir disampaikan oleh Prof. Drh. Dondin Sajuthi, MST, Ph.D tentang peran hewan model dalam penelitian dan pengembangan produk biofarmaka

Kegiatan pun diakhiri dengan sesi foto bersama dengan panitia. Semoga seminar ini mampu menginspirasi berbagai stakeholder khususnya masyarakat Indonesia dalam mengembangkan produk jamu, bukan hanya sebagai tamu namun jadi raja di negeri sendiri. Semoga

Salam SuksesBelajar

Isolasi Protoplas, antara Sitoplasma dan Dinding Sel

Perbedaan sel tumuhan dengan sel hewan adalah terdapatnya dinding sel kokoh yang membatasi sel tumbuhan. Dinding sel tersebut terdiri dari 3 lapisan yaitu lamela tengah, dinding primer  dan dinding skunder. Lapisan lamela tengah adalah lapisan pertama yang dibentuk saat tahapan sitokinesis yang di dalamnya terdiri dari senyawa pektin dan protein. Dinding primer terbentuk sesaat setelah lamela tengah terbentuk yang tersusun oleh senyawa  pektin, hemiselulosa dan glikoprotein. Setelah pembesaran selesai, maka mulai terbentuk dinding skunder yang sangat kaku dan memberikan kekuatan terhadap tekanan yang mengandung selulosa, hemiselulosa dan lignin.

index
Sel Tanaman (Sumber : gambarsekolah.com)

Protoplas adalah sel tanaman yang telah direduksi dinding selnya dengan baik secara mekanis maupun biokimia sehingga yang tersisa adalah sel telanjang yang hanya dilapisi oleh membran plasma. Bahan tanaman yang akan kita gunakan sebagai protoplas sebaiknya daun yang masih muda karena  memiliki jumlah sel yang banyak, seragam, enzim dapat terserap ke dalam dinding sel dan tidak mematikan bahan tanaman.

Protoplas
Protoplas (sumber : Wikipedia.com)

Ada dua cara mengisolasi protoplas yaitu secara mekanik dan enzimatik. Cara mekanik digunakan saat pertama kali berkembangnya isolasi protoplas. Jaringan tanaman dikondisikan dalam larutan hipertonik agar terjadi plasmolisis sel kemudian diamati di bawah mikroskop dan pemotongan dinding sel dilakukan dengan menggunakan skarpel sampai protoplas keluar dari dinding sel.

Metode imekanis ini hanya untuk sel dengan vakuola besar misalnya union bulb scale, radish and beet root tissues, protoplas yang dihasilkan sedikit karena membutuhkan keterampilan yang cukup tinggi, prosesnya sangat menyita tenaga dan perlu keahlian khusus serta viabilitas protoplasnya rendah.

Metode enzimatik biasanya menggunakan enzim pektinase dan selulase yang berfungsi sebagai pendegradasi lamela tengah dan menguraikan selulosa pada dinding sel tanaman. Sebaiknya dilakukan pre enzyme treatments agar penetrasi larutan enzim ke dalam ruang antar sel sel-sel daun.

Protoplas sangat remah terhadap pengaruh tekanan osmotik, sehingga diperlukan tekanan osmotik yang cocok (isotonik) dan harus stabil. Apabila tekanan osmotik tidak cocok maka protoplas akan lisis atau malah terjadi plasmolisis. Tekanan osmotik sangat penting diperhatikan pada proses pembuatan larutan enzim, medium pencuci/pembilas saat isolasi dan medium kultur kloroplas.

Protoplas yang telah dihasilkan dapat di cek viabilitas dengan menggunakan beberapa metode pengukuran oxygen uptake dengan menggunakan elektrode oksigen yang mengidentifikasikan metabolisme dari respirasi sel, aktifitas fotosintesis, memasukan ke dalam pewarna Evan’s blue dye pada membran dan pewarnaan flourescent diacetate.

Manfaat kultur protoplas telah digunakan untuk memanipulasi genetik tanaman seperti fusi protoplas, transformasi protoplas, dan fariasi somaklonal/protoklonal pada tingkat protoplas.

Media Kultur Jaringan (Murashige and Skoog 1962)

Sebagian besar media perbanyakan in vitro yang saat ini digunakan merupakan hasil modifikasi dari media yang telah dikembangkan sebelumnya, yang telah terbukti sesuai untuk kultur suatu jaringan atau organ tertentu. Media dasar adalah kombinasi zat yang mengandung hara esensial (makro dan mikro), sumber energy dan vitamin. Komponen penyusun media perbanyakan in vitro meliputi garam-garam organik, zat pengatur tumbuh tanaman, vitamin, asam-asam amino dan amida, sumber karbon dan matrix medium. Unsur –unsur esensial yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang relative besar disebut dengan unsure-unsur makro yang terdiri dari karbon, hydrogen, dan oksigen yang tersedia bagi tanaman melalui udara dan air sedangkan unsur-unsur makro yang lain seperti nitrogen, fospor, kalium, kalsium, magnesium dan belerang dipenuhi melalui media tumbuh. Unsur-unsur mikro sangat sedikit diperlukan alam pembuatan media. Unsur unsure mikro yang dibutuhkan oleh semua tanaman adalah besi, mangan, seng, boron, tembaga, dan klor.

Vitamin berfungsi sebagai katalitik  pada system enzim. Vitamin esensial pada pembiakan in vitro adalah tiamin, selain itu pemberian niasin dan piridoksin dapat pula meningkatkan pertumbuhan kultur. Kehadiran tiamin diperlukan pada saat kondisi kultur  memiliki kandungan sitokinin yang rendah. Beberapa vitamin lain yang digunakan dalam kultur in vitro meliputi asam aminobenzoat, kyanokobalin, asam folat, kalsium pantotenat, dan riboflavin.

Dari sekian banyak media dasar yang paling sering dan banyak digunakan adalah komposisi media dari Murashige dan Skoog. Terkadang untuk kultur tertentu kombinasi zat kimia dari Murashige dan Skoog (MS)  masih tetap digunakan namun konsentrasinya yang diubah. Sebagai contoh media MS ½ berarti konsentrasi persenyawaan yang digunakan sebagai setengah konsentrasi media MS.

Media MSo