Category Archives: Perspektif Al-Qur’an

Putramu adalah anugerah

Ada sebuah pesan hikmah yang pernah disampaikan oleh orang tua saya, dan itu selalu saya ingat hingga saat ini. Hikmah itu berbunyi, “siapa bersyukur maka ia akan mengikat kenikmatan itu hingga melekat dalam kehidupannya”, artinya kenikmatan yang kita peroleh tak akan bertahan lama dan berarti apapun tanpa diiringi rasa bersyukur. Ia akan lepas dari tangan seseorang dan digantikan dengan kemalangan yang memilukan.

Sejenak mari kita renungkan firman Allah SWT dalam QS. Ibrahim (7) yang erat kaitannya dengan sikap syukur, bahkan Allah SWT menjanjikan kenikmatan yang akan terus bertambah apabila kita senantiasa bersyukur. Namun ada konseksensi lain apabila kita mengingkari nikmatNya : Azab yang pedih !!! :

Slide1

Artinya : Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.

Salah satu kenikmatan yang teramat besar adalah dikaruniai buah hati. Setiap pasangan suami istri yang telah melangsungkan akad pernikahan tentunya sangat berharap hadirnya buah hati. Sungguh perubahan status dari suami istri menjadi ayah dan bunda karena kehadiran seorang anak adalah kenikmatan yang besar yang diberikan Allah SWT, sebagaimana dalam firmanNya dalam QS Asy-Syura 49-50 :

Slide2

Artinya : “ Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, dia menciptakan apa yang dia kehendaki. dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang dia kehendaki. Atau dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan dia menjadikan mandul siapa yang dia kehendaki. Sesungguhnya dia Maha mengetahui lagi Maha Kuasa “.

Allah Yang Maha Kuasa mengaugerahkan anak, baik laki-laki maupun perempuan atau bahkan keduanya kepada siapa saja yang dikehendaki, bahkan ketidakmampuan memiliki buah hati pun Allah tentukan dengan kuasaNya. Sejenak mari bercermin apakah kita sudah bersyukur atas nikmat yang begitu besar ini. Mungkin kita masih belum menganggap buah hati kita sebagai anugerah. Mungkin kita masih saja sering berkeluh kesah, atau mungkin kita sering menunjukan ketidakpuasan terhadap apa yang telah Allah berikan, baik melalui sikap maupun yang keluar dari lisan kita. Saya penulis pun turut bermuhasabah diri atas sikap kita selama ini terhadap anugerah ini : buah hati kita.!!

Sejenak mari kita tengok ke luar…ternyata masih ada pasangan suami istri yang telah lama menikah namun belum dianugerahi seorang anak. Mereka telah menunggu dalam waktu yang sangat lama, bahkan hingga saat ini. Berbagai upaya telah mereka lakukan, baik dari sisi medis maupun non medis. Segara persyaratan untuk mendapatkan seorang anak telah mereka lakukan tanpa menyerah sedikit pun. Tak lupa mereka pun dengan khusus bermunajat mengangkat tangan dan berdoa siang dan malam..

Di sisi lain mari kita lihat orang tua yang telah kehilangan putra yang mereka sayangi, pergi meninggalkan dunia fana ini terlebih dahulu. Ataukah sempat terbayangkan oleh kita, ada anak-anak yang harus cacat sejak lahir sehingga tidak bisa beraktifitas seperti anak-anak kita pada umumnya. Atau bahkan menjadi cacat padahal sebelumnya mereka adalah anak-anak yang normal..

Mungkin kini kita baru sadar…

Anak yang Allah SWT amanahkan kepada kita adalah sebuah anugerah yang sangat besar. Mari kita beryukur atas nikmat yang telah Allah anugerahkan kepada kita. Mari kita terus berusaha dengan usaha terbaik dan bersabar dalam mendidik anak-anak kita. Mari terus berharap, agar anak kita menjadi putra yang shaleh dan shalehah, mari kita terus berdo’a kepada Allah…..

Slide3

Artinnya: “ Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (Kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa” QS Al-Furqan (74).

 Wallahu’alam

SAJOGYO dan DENTING PERTANIAN KITA

Profesor Sajogyo adalah sedikit dari ilmuwan Indonesia yang intens menggumuli petani, desa, dalam seluruh karier intelektualnya. Bahkan sampai sekarang, meskipun telah purna bakti dari IPB 1990, disusul dengan wafatnya istri tercinta — Prof Pudjiwati Sajogyo– ia tetap aktif meneliti, berbagi ilmu, membimbing dosen-dosen muda, dan memimpin Sajogyo Institute.

Merampungkan thesis doktoral tahun 1957 dengan mengambil obyek kehidupan transmigran di Way Sekampung, Lampung, sejak itu petani dan pedesaan tak pernah lepas dari minat dan perhatiannya. Diantara para sosiolog dan pakar ekonomi generasi sepuh yang telah tiada, seperti Hendra Esmara (Universitas Andalas-Padang), DH Penny – Masri Singarimbun – Loekman Soetrisno – Mubyarto (Universitas Gajah Mada), Nurimansjah Hasibuan (Universitas Sriwijaya Palembang), Sritua Arief (Universitas Satyawacana Salatiga), dan Sarbini Sumawinata (Universitas Indonesia), tinggal ia sendirilah yang kini tersisa dan mewakili barisan “ideologi sosial-ekonomi kerakyatan”.

Dan seperti para koleganya itu, Sajogyo lebih memilih “jalan sunyi”, berkutat dan menceburkan diri dalam pergulatan tak kenal lelah dalam mengenali, memahami, mendefinisi, dan memberi tekanan pemecahan spesifik setiap persoalan. Tak terhitung berapa banyak kertas kerja, hasil riset, rekomendasi, buku-buku lahir dari buah pikirannya. Namun ilmuwan yang dijuluki almarhum Prof Loekman Soetrisno sebagai “suhu perguruan ilmu sosiologi pedesaan” ini tak pernah henti mengumandangkan himbauan–betapapun lirih dan nyaris tak terdengar–tentang pentingnya para ilmuwan sosial dan ekonomi untuk mencermati karakter dan sosiologi desa serta pertanian kita.

Ia terkesan menjauhi polemik. Berbicara dan menulis runtut, kaya detail, terpesona pluralitas, skeptis terhadap generalisasi kebijakan. Seakan hendak berbagi peran dan “menolak” pendekatan makro dalam mainstream kebijakan pembangunan selama rezim Orde Baru, Sajogyo (dan juga Mubyarto) mengarahkan UGM dan IPB sebagai “mata hati” dari suara-suara terpinggirkan dalam slogan besar pertumbuhan dan industrialisasi yang demikian bergemuruh dan menguasai wacana pembangunan nasional.

Dari penemuannya yang terpenting dan menjadi tonggak awal pengukuran kemiskinan–yaitu Nilai Setara Beras (NSB)– tahun 70-an, memperlihatkan posisi dan kekuatan Sajogyo dalam memaknai karakteristik kemiskinan dalam kaitannya dengan kebutuhan dasar (basic need) rakyat.Ia tak setuju dengan pendekatan pendapatan per kapita sebagai dasar pengukuran garis kemiskinan karena realitas ekonomi yang nyata-nyata diwarnai dualisme, ketimpangan dan distorsi.

Lebih jauh ia mengenalkan konsep Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK) yang kemudian menjadi landasan program nasional Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS). Bersama istrinya (Prof Pudjiwati Sajogyo), ia merintis pusat studi wanita sekaligus memfokuskan upaya-upaya untuk memberdayakannya. Satuan rumah tangga pertanian bukan semata diukur sebagai unit ekonomi tetapi juga unit sosial dimana perubahan dimulai.

Sajogyo tak terkesima pada kuantifikasi yang acapkali dipakai sebagai acuan keberhasilan proyek atau program.Baginya, kata kunci peningkatan kesejahteraan desa dan pertanian adalah perubahan. Oto-aktivitas, aktivitas otonom itulah yang seharusnya dipupuk dan direngkuh. Dalam karyanya yang monumental dan menjadi salah satu referensi klasik Badan Pangan Dunia (FAO): Modernization without Development in Rural Java (1973), Sajogyo menukik ke kedalaman dan tali-temali hubungan ekonomi-politik-sosial-budaya melintasi pendekatan disiplin ilmu yang terkotak-kotak dalam mengurai persoalan golongan lemah.

Seperti antropolog cum-sosiolog peraih Nobel 1974, Gunnar Myrdal (Asian Drama: An Inquiry into the Poverty Nation), ia tak percaya pendekatan sektoral dapat mengatasi kemiskinan struktural. Ia meyakini, hanya perubahan evolusioner dan pendampingan terus-menerus (konsientisasi dan bukan charity) yang dapat mengangkat derajat dan martabat kaum papa.

Kritik-kritiknya tentang nasionalisasi KUD/BUUD, Bimas, LKMD dan pelbagai program nasional yang hanya menjadikan petani dan desa sebagai obyek, mencerminkan kegusaran dan kegundahan intelektualnya, sekaligus pembelaan gigihnya atas corak khas keanekaragaman desa dan pertanian Indonesia.

Ia tak masygul kendati semua “perlawanannya” kandas oleh arus besar kebijakan yang pro-pasar, mendewakan pertumbuhan, dan mimpi besar menuju negara industri.Ia juga telah lama mengingatkan bahaya pengulangan penetrasi industrialisasi dan monetisasi pada era kolonial (upah, pajak dan onderneming), tatkala pertanian dan masyarakat desa “belum siap dan belum disiapkan” menyongsong gelombang baru desakan modal besar.

Kini, semua agaknya sudah terlambat. Pasang laut “modal dan kepentingan asing” masuk ke “sungai-sungai” di seluruh pelosok negeri, melabrak habis daya-tahan lokal. Dalam endapan lumpur kemiskinan dan ketidakberdayaan, tentu saja masih tersembul harapan. Hanya dengan satu syarat: kukuh berpihak pada kemampuan dan kewarasan lokal.

Pada titik inilah Sajogyo berbeda dengan sejawatnya yang lebih memilih “bertempur” di lapangan praktis, masuk ke departemen-departemen teknis, beradu argumen di mimbar-mimbar dan media. Ia tetap tekun dan terpekur di medan penelitian, terus mengasah kepekaan, dan membekali murid-muridnya agar tak terbawa arus.

Ia seperti denting piano yang sayup. Mudah dilupakan dan diabaikan. Akan tetapi harus diakui, erudisi intelektualnya tetap kokoh sampai sekarang dalam bangunan pikiran dan warisan tulisan-tulisannya. Salah satunya adalah uraiannya yang mencerahkan saat memberi pengantar buku Clifford Geertz: Agricultural Involution.

Warisan berharga Sajogyo dengan demikian adalah konsistensi, integritas, keberpihakan, keterlibatan tanpa reserve pada golongan lemah. Ia juga kukuh mentranformasikan grand theory ke peta bumi dan aksi nyata intelektual. Ia memang tidak mencorong, terlewatkan dan sering dilupakan. Namun bangunan dan integritas yang ia lesakkan dalam-dalam pada tatanan keilmuan dan kehidupan, telah mengilhami ratusan bahkan mungkin ribuan anak-anak didiknya untuk tetap “lurus” pada asketisme khas intelektual.***

________________
Catatan: Tulisan ini merupakan pengayaaan dari artikel Suwidi Tono yang pernah dimuat di Jurnal NAGARA—mediasi publik dan republik— terbitan Blora Institute, Oktober 2005 dan Harian Jurnal Nasional, Jakarta, 16 Februari 2007. Tulisan ini juga dapat dibaca di website Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (PS3P) IPB.

Ayah Juara : Menyayangi kami di waktu kecil

Sebagai seorang anak, kehadiran orang tua adalah sesuatu yang amat berharga. Mereka memberikan segalanya termasuk kasih sayang maupun kebutuhan materi. Tangannya selalu terbuka lebar saat kita membutuhkan pelukan hangat, siap mendengarkan apapun baik itu keluh kesah maupun berita gembira. Doanya selalu mengalir sepanjang nafas hidupnya… sungguh besar kasih sayang mereka kepada kita.

Kita sebagai seorang anak tentunya tahu akan pengorbanan orang tua. Baik apa yang kita rasakan sebagai seorang anak (walaupun tak jarang kita sering melupakannya), dari bahan bacaan yang kita baca, maupun ceramah atau nasihat ustad/guru saat mennyampaikan ceramah/sekolah. Sebenarnya pemahaman terhadap kasih sayang orang tua akan lebih lengkap lagi apabila kita sudah menjadi orang tua, khususnya saat anak kita masih kecil. Kita baru benar-benar menyadari mengapa dulu saat di madrasah kita diajarkan oleh guru-guru kita doa kepada orang tua yang berbunyi :

doa-sesudah-sholat-1
sumber : http://carapedia.com

Kasih sayang orang tua bahkan sudah hadir saat bayi belum terlahir ke dunia. Ayah dan bunda memberikan makanan terbaik, yang halal dan bergizi, dinantikan kehadiran buah hati saat sudah kehamilan sang ibu mendekati 9 bulan. Begitu pun setelah lahir ke dunia, tangisannya menghadirkan kebahagiaan yang tak terkira di tengah-tengah keluarga. Dijaga siang dan malam, tak peduli besok bekerja lembur, bisa jadi masuk kerja dengan mata terkantuk-kantuk. Panik rasanya saat anak sakit walau badan hanya sedikit panas, gusar saat perkembangan terganggu. Anak dibimbing hingga ia bisa melakukan apapun sendiri dan mandiri, menjadi manusia “paripurna”: diajarkannya bagaimana berjalan, makan, berpakaian, memakai sepatu bahkan maaf, buang hajat. Itulah kasih sayang orang tua saat anak masih kecil..dan kita berharap Allah SWT memberikan kasinh sayangNya sebagaimana mereka menyayangi kita di waktu kecil.

Berbakti kepada kedua orang tua, adalah kewajiban bagi seorang anak. Dengan berbuat baik, jujur, lembut, taat, tidak durhaka serta berahlak terpuji kepada mereka baik dengan perkataan dan perbuatan; baik ketika masih hidup atau setelah mereka meninggal dunia.

Kita sebagai seorang muslim diajarkan untuk selalu bernbakti kepada keduanya melalui firman Allah SWT QS. Al Isro:23.

17_23“ Dan Rabbmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”

Berbuat baik kepada orang tua ditempatkan pada urutan ke dua setelah penyembahan terhadap Allah SWT, hal itu menunjukan bahwa Islam menempatkan perbuatan baik terhadap orang tua sebagai amalan mulia. Islam adalah ajaran yang indah, penuh dengan cinta dan kasih sayang.

Yuk sampaikan Senyum, Salam dan Sapa kepada  Kedua Orang Tua Kita 🙂

Wallahualam.

Indonesia, megadiversitas dunia

Tahukan anda sejak tahun 2002 Indonesia ditetapkan oleh World Conservation Monitoring Centre sebuah lembaga bentukan perserikatan bangsa-bangsa (PBB) sebagai salah satu negara megadiversitas, yakni negara-negara dengan keanekaragaman hayati terkaya di dunia. Indonesia berkumpul bersama 17 negara lainnya diantaranya adalah negara Brazil, Republik Rakyat Tiongkok, India, Malaysia, dan Afrika Selatan.

Hutan Indonesia memiliki keragaman tumbuhan yang hanya bisa disamai oleh daerah sekitar sungai Amazon, Brazil. Lebih dari 25,000 spesies tumbuhan berbunga dapat kita temukan di negara ini, khususnya 2000 spesies tanaman anggrek yang hanya bisa kita temui di pulau Kalimantan, belum ditambah dengan pulau lainya. Hal itu berarti sebanyak ±12% populasi tumbuhan dunia dapat kita dijumpai di Indonesia.

Mengapa bisa demikian ?

Pertama, Indonesia berada di sekitar garis ekuator yaitu berada diantara 23,5°LS dan 23,5°LU dengan matahari sepanjang tahun. Karakter tumbuhan di Indonesia pun hijau sepanjang tahun (evergreen). Daerah tropis memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi bila dibandingkan dengan daerah subtropik (iklim sedang) dan kutub (iklim kutub), dicirikan dengan banyaknya ekosistem unik yaitu ekosistem pantai, ekosistem hutan bakau, ekosistem padang rumput, ekosistem hutan hujan tropis, ekosistem air tawar, ekosistem air laut, ekosistem savanna, dan lain-lain.

Kedua, tumbuhan di Indonesia merupakan bagian dari geografi tumbuhan Indo-Malaya (bagian barat) dan Flora austrialis (bagian timur). Flora Inod-Malaya meliputi tumbuhan yang hidup di India, Vietnam, Thailand, Malaysia, Indonesia, dan Filipina. Flora yang tumbuh di Malaysia, Indonesia, dan Filipina sering disebut sebagai kelompok flora Malesiana. Hutan di daerah flora Malesiana memiliki ±248.000 species tumbuhan tinggi, yang didominasi oleh famili Dipterocarpaceae seperti pohon Keruing (Dipterocarpus sp), Meranti (Shorea sp), Kayu ramin (Gonystylus bancanus), dan Kayu kapur (Drybalanops aromatica). Flora autrialis di Indonesia bagian timur, tipe hutannya berbeda, mulai dari Sulawesi sampai Papua terdapat hutan Non-Dipterocarpaceae. Hutan ini memiliki pohon-pohon sedang, diantaranya beringin (Ficus sp), dan matoa (Pometia pinnata).

Sembari menikmati keanekaragaman plasma nutfah Indonesia mari kita simak ayat Suci Alqur’an di bawah ini :

20;53

Yang Telah menjadikan bagimu bumi sebagai hamparan dan yang Telah menjadikan bagimu di bumi itu jalan-ja]an, dan menurunkan dari langit air hujan. Maka kami tumbuhkan dengan air hujan itu berjenis-jenis dari tumbuh-tumbuhan yang bermacam-macam. (20:53)

Pada ayat terakhir disebutkan bahwa “Maka kami tumbuhkan dengan air hujan itu berjenis-jenis dari tumbuh-tumbuhan yang bermacam-macam”. Tumbuhnya berbagai jenis tumbuhan yang bermacam-macam tersebut erat kaitannya dengan air, khususnya air hujan. (Baca tulisan saya sebelumnya : hujan, Siklus air hujan, dan Penghujan, musim yang ditunggu) Keterangan yang menyebutkan bahwa tumbuhan itu berjenis-jenis dan bermacam macam menunjukan adanya perbedaan “jenis” dan perbedaan “macam”. Artinya dalam dunia tumbuhan itu terdapat berbagai jenis dan setiap jenis tersebut terdiri dari berbagai macam perbedaan sifat. Informasi ini merupakan dasar-dasar dari ilmu klasifikasti tumbuhan.

Berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan manusia telah mampu mengelompokan golongan tumbuhan. Namun bukan berarti setelah penggolongan tumbuhan-tumbuhan tersebut semuanya telah habis, masih banyak tumbuhan-tumbuhan lain yang belum masuk ke dalam penggolongan yang dibuat oleh manusia. Setiap kali diadakan eksplorasi tumbuhan ke hutan-hutan, selalu ditemukan spesies baru atau bahkan ditemukan spesies yang dapat merevisi spesies sebelumnya. Bahkan ahli genetika dan taksonomi tumbuhan pun tidak berani mencantumkan angka pasti terkait berapa jenis dan macam tumbuhan yang ada di bumi, kebanyakan mereka menentukan berdasarkan kisaran angka tertenyu yang merupakan nilai taksiran. 26.7 Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya kami tumbuhkan di bumi itu pelbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik?(26:7)

Dalam ayat di atas Allah SWT mengingatkan manusia akan kebesaran, kekuasaan dan kekuatan qudrat iradatNya. Untuk mengetahui kebesaran dan kekuasaanNya Allah SWT memerintahkan kita untuk memperhatikan bumi dengan bermacam-macam tumbuhan yang tumbuh di permukaannya. Kata “memperhatikan”tentunya tidak cukup hanya dengan melihat saja namun termasuk mempelajarinya. Kalau kita diberikan tugas untuk mempelajari itu semua tentunya itu merupakan tugas yang teramat berat. Walau telah dipelajari dari generasi ke generasi namun saya melihat tidak akan pernah ada habisnya. Dunia tumbuhan merupakan salah satu lautan ilmu yang sangat luas dan hanya dikuasai oleh Allah SWT. Kalau kita perhatikan dengan cara seksama, maka kita akan semakin mengagumi akan kebesaran dan kekuasaan Allah SWT. Wallahu’alam

Penghujan, musim yang ditunggu

Musim hujan adalah waktu yang sangat ditunggu-tunggu oleh setiap orang. Setelah bergelut dengan cuaca panas dan debu selama musim kemarau, turunnya air hujan akan mendatangkan suasana lebih sejuk dan bersih. Air hujan yang turun menyapu debu yang ada di permukaan daun, atap rumah, dan jalanan. Turunnya hujan mengisi sumur-sumur, sungai dan danau yang dangkal atau kering selama musim kemarau. Selain itu tanah yang tandus dan gersang menjadi subur sehingga ditumbuhi tanaman hijau.

Dari berbagai sumber air yang telah terisi penuh dengan kehadiran air hujan maka lahirlah berbagai teknis pengairan. Betapa pentingnya air untuk pertumbuhan tanaman manusia berusaha mengembangkan teknologi agar tanaman selalu mendapatkan air. Tanaman yang paling banyak memerlukan air adalah tanaman padi sawah, apalagi beras adalah makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia. Berdasarkan sistem pengairannya pengairan sawah dibedakan menjadi tiga yaitu : sawah berpengairan teknis (mendapatkan air sepanjang tahun), sawah berpengairan setengah teknis (kekurangan air saat musim kemarau) dan sawah tadah hujan (tergantung sepenuhnya pada hujan).

Tentunya bagi petani yang memiliki ladang, pengairan dengan hujan akan dirasakan berbeda dengan apabila kita melakukan penyiraman secara manual. Saya memiliki sebuah ladang penelitian, saat musim kemarau sebulan yang lalu harus melakukan penyiraman secara manual. Hasilnya berbeda dengan penyiraman menggunakan air huja. Air yang kita siramkan pada pagi hari seberapa banyak pun akan cepat teruapkan oleh panasnya sinar matahari saat siang datang dan menjelang sore. Namun apabila hujan datang, seberapa panas pun udara saat itu kandungan air pada tanah cenderung lebih lambat mengalami penguapan.

Di dalam al-Qur’an manfaat hujan Allah sampaikan pada surat Yunus : 24 dan An- Nahl 10-11;

yunus 24Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang kami turunkan dan langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya Karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. hingga apabila bumi itu Telah Sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-permliknya mengira bahwa mereka pasti menguasasinya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab kami di waktu malam atau siang, lalu kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (kami) kepada orang-orang berfikir (QS Yunus 24).

Annahl 1011Dia-lah, yang Telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebahagiannya menjadi minuman dan sebahagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu. Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan (An-Nahl 10-11).

Dalam kedua ayat di atas telah dengan jelas disebutkan bahwa dengan air hujan maka kita dapat memanfaatkan air tanah sebagai minuman dan menumbuhkan tanaman yang kita tanam di tanah tumbuh dengan subur. Karena air tersebut maka tanaman yang tumbuh dapat dimanfaatkan oleh manusia dan binatang ternak. Selain itu ditumbuhkannya berbagai macam tumbuhan baik itu tanaman sayuran maupun buah-buahan.

Begitulah Allah SWT memberikan karunia-Nya kepada kita semua, kewajiban kita semua mensyukuri dengan apa yang telah kita ambil manfaatnya. Kita harus menyadari bahwa hujan adalah rahmat Allah yang sangat besar oleh karena itu ketika datang hujan bersyukur dan perbanyaklah berdoa, seringkali kita lupa dan akhirnya kita terjebak, menggerutu ketika datang hujan dengan alasan yang bermacam-macam seperti pakaian yang tidak kering, sulit untuk beraktivitas saat hujan ataupun seribu alasan lainnya.

Kita harus ingat bahwa Allah memiliki kuasa untuk untuk menurunkan azab baik siang maupun malam sehingga disebutkan dalam ayat tersebut “ lalu kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Dan lagi-lagi Allah SWT menyeru kita untuk terus berfikir, menganalisa atas apa-apa yang terjadi di alam semesta ini, termasuk hujan. Wallahu’alam.